September 29th, 2007 — fgaban
Salah satu jawabannya: Myanmar tak punya minyak?
Di bawah ini sebuah analisis Majalah Tempo empat tahun lalu. (Edisi 16
- 22 Juni 2003)
Andai Myanmar Punya Minyak
Dunia internasional setengah hati menekan rezim militer Myanmar. Nasib
Aung San Suu Kyi masih gelap sampai sekarang.
–
KABAR baik itu datang dari utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB,
Razali Ismail. Kabar itu dia sampaikan kepada dunia internasional
setelah rezim militer Myanmar mengizinkan dia menemui tokoh oposisi
Burma, Aung San Suu Kyi, selama 30 menit pada Rabu pekan lalu. “Saya
jamin dia (Suu Kyi) dalam keadaan baik dan bersemangat,” kata diplomat
Malaysia ini. Razali menambahkan, wajah dan tangan Suu Kyi bersih dari
luka-luka. “Bahkan tak ada goresan,” ujarnya.
Seakan membonceng kesaksian Razali, Wakil Menteri Luar Negeri Myanmar
(nama lain Burma) Khin Maung Win mengatakan bahwa penahanan Suu Kyi
hanya untuk sementara. Dan pemerintah segera membebaskan Suu Kyi saat
kondisi normal. Di ujung dunia lain, Sein Win, Perdana Menteri
Pemerintah Burma di pengasingan, tak terpengaruh oleh kabar baik itu.
Dia tahu persis mustahil memegang ucapan penguasa rezim militer
Myanmar, yang kebijakan politiknya terhadap oposisi sering tak
terduga. Inilah hari-hari paling sibuk bagi Sein Win setelah junta
militer Myanmar meringkus pemimpin mereka, Aung San Suu Kyi, pada 30
Mei silam.
Dari kantornya di Washington, Sein Win terbang ke beberapa kota di
Eropa untuk menemui anggota kabinetnya. Mereka memang berpencar di
berbagai negara untuk menggalang kampanye agar dunia internasional
lebih keras lagi menekan Dewan Pembangunan dan Perdamaian Negara
(SPDC), nama resmi rezim militer Myanmar. “SPDC telah menentang opini
internasional dan mengesampingkan sejumlah resolusi Majelis Umum PBB,”
kata Sein Win dalam pertemuan Burma Forum di Oslo, Norwegia, awal Juni
lalu. Sein Win meminta agar isu Burma mulai dibawa ke Dewan Keamanan PBB.
Keinginan Sein Win ini cerminan dari sikap frustrasi kelompok oposisi
Burma atas sikap setengah hati dunia internasional terhadap rezim
militer Myanmar. Burma hanya merupakan isu pinggiran yang sekadar
menjadi agenda Komisi Hak Asasi Manusia PBB yang tak punya kuku.
Laporan pelanggaran hak asasi manusia di Burma yang sering dikeluarkan
Amnesti Internasional tak mampu mengusik dunia internasional untuk
habis-habisan menekan pemerintah Myanmar.
Thailand, Cina, dan Jepang, yang selama ini menjadi kongsi dagang
utama junta militer Myanmar, tak berbuat apa-apa. Thailand,
sebagaimana negara ASEAN lainnya, tak mau ikut campur urusan dalam
negeri Myanmar. Apalagi Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra,
justru sedang getol mendorong para pengusaha Thailand agar menanam
modal di Burma. Menurut koran The Nation di Bangkok, Thaksin punya
kepentingan mengegolkan bisnis telekomunikasi milik pribadinya di Burma.
Adapun pemerintah Amerika Serikat hanya menekan sebatas perang
retorika. Presiden George Bush memang sudah meminta agar Thailand,
Cina, dan Jepang memutuskan hubungan. Tapi, siapa pun tahu, isu hak
asasi manusia bukanlah jualan menarik bagi Bush, kecuali ada
kepentingan ekonomi yang menyertainya, semisal minyak. Padahal
pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim SPDC itu berupa penyiksaan,
pemerkosaan, pemenjaraan aktivis oposisi, dan pembunuhan etnis minoritas.
Pendek kata, kekejaman rezim militer ini tak kalah gawat dibandingkan
dengan perilaku Saddam Hussein di Irak yang diganjar AS dan Inggris
dengan invasi militer. “Kami akan sangat senang jika AS menyerang
Burma sebagaimana mereka melakukannya di Irak sekarang,” kata Aung
Naing Soe, gerilyawan Partai Pembebasan Arakan (ALP). Kelompok
gerilyawan etnis minoritas Arakan ini sudah lama memerangi rezim
Myanmar yang tengah berkuasa.
Di mata AS, isu Burma memang tak seseksi isu Irak. Dewan Perdagangan
Luar Negeri AS menolak usul anggota Kongres untuk menghukum rezim
Myanmar. “Sanksi ekonomi AS tak menghasilkan apa-apa kecuali memukul
penduduk yang putus asa memperoleh bantuan ekonomi,” ujar Bill
Reincsh, Presiden Dewan Perdagangan Luar Negeri AS. Menurut Reincsh,
sanksi unilateral bukanlah jawaban untuk menekan pemerintah Myanmar.
Nah, jika sanksi ekonomi pun dianggap tak perlu, apalagi serangan
militer? Kini tinggallah Sein Win pontang-panting melobi anggota Dewan
Keamanan PBB untuk menjatuhkan sanksi yang mampu membuat para jenderal
Myammar menjerit minta ampun.
Sanksi ekonomi lewat resolusi PBB sejatinya mengikat semua anggota
PBB, tak terkecuali Thailand, Cina, dan Jepang. “Kami tak bisa berdiam
diri saja saat darah terus tertumpah. Kalianlah (Dewan Keamanan PBB)
yang memiliki kekuatan untuk mencegahnya,” ujar Sein Win dengan nada
putus asa.
Nasib Daw Aung San Suu Kyi pun masih gelap setelah tiga minggu
penangkapannya.
Raihul Fadjri (BBC, Washington Post, Asia Times, The Guardian)
Wednesday, October 10, 2007
>Kenapa Junta Myanmar Awet Bertahan
Diposting Oleh:
RISTANTO
Pada
10:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment